sharing is caring

I share because I do care

Sabtu, 20 Oktober 2012

PREMAN SEKOLAH

Aku tertidur dengan air mata yang bersimbah. Perih sekali. Memang bukan Aris seorang yang menghinaku dengan ucapan-ucapan seperti itu. Banci...
"Kok, sudah tidur lagi? Mentang-mentang liburan, ya?" Aris sudah berada di belakang punggungku. Aku segera menghapus air mataku. Terlambat! Aris sudah melihatnya...
"Kamu mendengar obrolanku dengan bapakku, ya?" tanyanya khawatir.
"Aku punya kuping!" ketusku. Judes sekali. Banci!
"Memangnya kamu mengerti bahasa Jawa?" tanyanya lagi.
"Tri Sugihantoro itu bukan orang Batak!" sungutku. Aris tersenyum. Sialan!
"Oooh, jadi kamu orang Jawa toh..." godanya.
"Aku lahir di Jawa!" aku melotot padanya.
"Aku juga..." Hhhh... "... berarti kita sama, dong!" Aris tertawa. Renyah sekali. Aku kesal sekali. Kubalikkan lagi badanku. Aku ingin tidur saja!
"Tri Sugihantoro! Ajak Aris Irawan berjalan-jalan, dong! Aku sudah tidak sabar, nih, mau lebih mengenali kota Jakarta, ibukota yang katanya lebih kejam daripada ibu tiri ini.." Hampir aku tertawa mendengar gaya bercandanya yang sekaligus memperkenalkan dirinya itu. Aris Irawan! Harusnya ditambah menjadi... Aris Irawan Si Tampan!
"Aku tidak pernah berjalan-jalan. Aktivitasku cuma rumah dan sekolah!" elakku.
"Ya, sudah! Ajak aku ke sekolahmu, dong! Biar tidak kaget nanti masuk ke sana..." bujuknya. Dia memang akan dimasukkan bapak ke sekolahku.
"Sekarang itu sedang libur! Masih tutup kali..." tegasku.
"Aku cuma ingin tahu jalannya saja... Mau, ya Ro?!" Aku bangkit dengan malas. Mungkin lebih baik pergi daripada tidur. Selama liburan aku jenuh sekali.
"Nah, begitu, dong! Tamu memang harus diberikan pelayanan ekstra..." kata Aris senang. Tadi pagi sudah! Pekikku dalam hati. Refleks kuarahkan pandanganku ke selangkangan remaja kekar itu.
"Sudah, dong! Jangan dibegitukan lagi, ya? Nanti aku marah..." ancamnya halus. Ternyata berasa juga tuh, anak...
Akhirnya kami memohon izin kepada Paman Arjo untuk melihat-lihat sekolah. Lelaki baik itu benar-benar berjiwa petani. Ia sedang merapihkan tanaman di depan rumah yang memang tidak ada yang merawat.
Kami berjalan bersisian. Bangga rasanya. Aku yang biasanya sendiri kini berjalan di samping seorang pria tampan dan gagah. Pria itu saudaraku, lagi. Aku mati-matian mengimbangi gaya berjalannya yang tegap itu. Yah... jangan sampai terlihat begitu kontras. Seorang pria gagah berjalan dengan banci kalengan. Apa kata dunia?
Di sekolah ternyata sudah berlangsung beberapa aktivitas. Persiapan penerimaan siswa baru (PSB) dan masa orientasi siswa baru (MOS).
Penerimaan siswa baru dilakukan oleh para guru. Sebagian pengurus OSIS yang di antaranya juga teman sekelasku di kelas satu sedang mempersiapkan acara MOS.
"Toro! Itu siapa?" Selly, teman sekelasku yang paling cantik... juga genit. Tidak biasanya ia menegurku. Hmmmm... pasti ada maunya. Kulirik Aris. Ia sudah tersenyum ke Selly. Manis sekali. Hhhh... bete!
Aku benar-benar tidak menikmati kunjunganku ke sekolah pada hari libur itu. Setelah dengan terpaksa kuperkenalkan Aris kepada Selly, ia sudah lebur dengan teman-teman Selly di OSIS. Ada Anom, si ketua OSIS yang juga pernah menjadi bintang iklan sebuah cream antijerawat. Ada Raden, wakil ketua yang putih tinggi dan jago basket. Ada Aini, Rosalina, dan beberapa pengurus OSIS yang tidak aku kenali.
Seharusnya aku tetap di sana. Namun, entah bagaimana aku sudah terlempar dari kumpulan itu. Aris sudah asyik berbincang-bincang dengan mereka, yang notabene adalah orang yang baru ia kenal. Aku sendiri berpura-pura membaca berbagai selebaran maupun tempelan yang ada di mading sekolah. Tak ada satu huruf pun yang terbaca. Mataku berkabut! Sedih sekali...
"Kok, kamu meninggalkan aku di sana sih?!" suara Aris mengejutkanku. Aku tergagap. Malu sekali...
Untungnya Aris tidak terus mencecarku. Aku berharap ia sudah memahami keadaanku. Satu jam lebih aku relakan diriku hanya mematung di depan mading. Selama itu pula Aris sudah tenggelam dalam keakraban dengan beberapa teman barunya.
"Ris! Ayo, langsung gabung rapat sekarang saja!" teriakan Raden mengajak. Aris menarikku ke arah ruang rapat meskipun aku berusaha menolak.
"Aduh! Aku berterima kasih sekali, nih! Kalian baru kenal sudah memberiku kesempatan bergabung di MOS. Aku rasa biar aku adaptasi dulu, ya?!" Aris melontarkan keberatannya secara halus. Yang lain pun akhirnya maklum. Yah, terdaftar secara resmi saja belum sudah dilibatkan dalam kepanitiaan MOS. Aneh... sinisku dalam hati.
Aku tiba-tiba ingin buang air. Kutinggalkan Aris sebentar. Ia tidak menyertaiku hanya memperhatikan saja dari agak jauh. Takut kalau aku minta diperkosa sepertinya.
"Nah, ini anaknya!!" terkejut aku seorang murid langsung membetot keras kerah kausku. Cagax! Nama aslinya Teguh. Ia memegangiku. Seorang temannya membuka celanaku secara paksa. Aku panik setengah mati. Mau apa mereka?
"Siapin kontol elo, Ndra!" Hendra! Preman sekolah itu sedang mengelus-elus kontolnya yang makin lama makin tegang. Celanaku sudah terlepas termasuk cd-ku.
"Panggil calon anak baru itu, Wenk!" perintah Hendra pada anak yang memeloroti celanaku tadi. Oooh, ini mungkin yang namanya Zhawenk. Coretan di tembok toilet banyak terdapat nama ini. Zhawenk keluar. Cagax terus memegangiku. Aku tidak dapat berontak sama sekali. Hendra telah mengarahkan kontolnya yang lumayan besar ke pantatku. Jangan! Pekikku takut. Aku belum pernah...
"Ini anaknya!" suara Zhawenk menunjukkan kedatangan Aris. Aku tidak berani melihat ke arahnya. Hina sekali keadaanku.
"Toro! Kamu kenapa?" tanyanya panik. Namun, Zhawenk yang bertubuh tinggi dan jago berkelahi telah memeganginya.
"Gue cuma mau kasih peringatan buat elo! Jangan sok kegantengan elo di sini. Elo anak baru! Selly dan cewek-cewek cakep di sini jatah anak-anak lama. Kalau elo berani mendekati seorang saja di antara mereka, siap-siap saja elo seperti bencong ini! Hehh..." Hendra mendengus seraya menancapkan dengan kasar kontolnya ke anusku. Augh! Aku benar-benar menjerit.
"Jangan lakukan itu! Lepaskan dia!' Aris berupaya menghentikan tindakan Hendra. Ia tidak bisa berbuat yang lain. Ada tiga anak berangasan yang harus dia hadapi. Meskipun dia jago beladiri tetapi ketiga anak ini biangnya tawuran.
"Saya janji tidak akan mendekati cewek-cewek itu!" teriak Aris.
"Elo tahu risikonya kalau elo langgar janji elo!?" ancam Zhawenk bengis. Aris mengangguk.
"Tolong lepaskan dia..." ujarnya lemah. Tiba-tiba Cagax melemparkanku ke sudut toilet dibantu dengan tendangan di pantatku oleh Hendra yang batal menghujamkan kembali kontolnya. Aduhhhh... sakit...
"Toro!'" Aris kembali berteriak. Bersamaan dengan itu Zhawenk melemparnya ke arahku. Kasar dan bengis!
Aris hampir menabrakku. Untungnya ia menghindar sehingga tidak menambah penderitaan fisikku.
Mentalku nyaris hancur...
Ketiga preman sekolah tadi sudah tidak ada. Aris mendekatiku dengan cemas. Ia benahi celanaku. Aku hanya menangis. Ingin mati rasanya. Seorang lelaki dijadikan sandera lelaki lainnya. Disodomi pula! Bencong!
Aris memapahku ke luar toilet. Aku merasakan sakit di pantatku. Bukan cuma karena tendangan kaki Hendra. Tendangan kontol Hendra juga sempat menembus lubangku meski sebentar. Sakit... tak ada nikmatnya...
Kami pulang. Aris sibuk menghiburku. Ia juga meminta maaf karena semua terjadi karena dirinya. Aku tidak berbicara sama sekali. Kejadian itu benar-benar membuatku shock. Suhu tubuhku langsung melonjak. Panas. Ibu, bapak, dan Paman Arjo menjadi prihatin melihatku. Mereka menatapi Aris bergantian. Mereka butuh penjelasan.
"Tadi saya memaksanya mengantarkan ke sekolah untuk melihat-lihat... padahal ia sudah mengeluh sakit..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar